Jiwa yang Benar, Jiwa yang Tenang



“….mustahil. Memang mustahil menyalurkan sensasi-hidup epos eksistensi seseorang, yang seperti apa juga jalan ceritanya—sebuah perasaan yang membuatnya sungguh-sungguh ada, yang membuatnya bermakna—sebuah hakikat yang subtil dan menembus jiwa; mustahil tersampaikan. Kita hidup, sebagaimana dalam mimpi—sendiri-sendiri…”
Dalam sebuah riwayat yang sangat populer, Rasulullah Saw. memerintahkan para sahabat untuk berangkat lebih dulu menuju perkampungan Bani Quraidhah. Pesan beliau, “Shalat Ashar kalian di kampung Bani Quraidhah.”
Berangkatlah para sahabat itu dan hingga waktu Ashar nyaris tandas mereka belum juga tiba di perkampungan yang dituju. Terjadilah perpecahan pendapat di antara para sahabat. Sebagian bersikukuh untuk shalat Ashar di tengah jalan. Hujjahnya ayat al-Qur’an: “Sesungguhnya shalat itu telah ditentukan waktu-waktunya….” Sebagian sahabat lain bersikukuh mematuhi perintah Rasulullah Saw. Hujjahnya juga ayat al-Qur’an: “Patuhlah kalian kepada Allah dan rasulNya….”
Kesikukuhan keduanya meruncing dan diakhiri dengan sebagian melaksanakan shalat Ashar di tengah jalan dan sebagian lain tidak melakukan shalat Ashar dengan niat mematuhi Rasulullah Saw.
Setelah Rasulullah Saw. tiba di Bani Quraidhah, mengadulah kedua kelompok sahabat itu dengan argumen masing-masing dan tentu saja dilambari “sensasi-hidup epos eksistensi” masing-masing. Apa yang saya maksudkan sebagai “sensasi-hidup epos eksistensi”, mari pahami sebagai: “perasaan yang sungguh-sungguh ada yang membuatnya bermakna”; suatu keyakinan eksistensial, sebutlah spiritual-imani, bahwa mereka telah menjalankan hal terbaik dan terbenar di hadapan perbuatan kelompok sahabat lainnya yang dinilai buruk dan salah.
Apa jawaban Rasulullah Saw. terhadap dua pengaduan itu?
Keduanya dinyatakan benar. Sekali lagi, keduanya dibenarkan.
Baiklah, Wahai Jiwa-jiwa yang Benar, dengan menukil narasi mendalam yang dituturkan tokoh Marlow dalam novel abadi Joseph Conrad, Heart of Darkness, tersebut, kita seyogianya bisa memafhumi bahwa segala apa yang kita sebut “epos eksistensi” dan menyerpihkan pijaran “sensasi-hidup” secara epistemologis sejatinya memang secara obyektif tak pernah beranjak dari level “mimpi”, yang tentunya berjalan sendiri-sendiri. Mimpimu adalah mimpimu, mimpiku adalah mimpiku, mimpinya adalah mimpinya.
“Epos eksistensi” adalah suatu ghirah dan gairah yang menjadikan hidup kita terasa sangat berlandas, otoritatif, dan berikutnya (rawan) menyeret tabiat baik dan benar. Tak ada yang salah dengan ghirah dan sensasi tersebut. Manusiawi, wajar, dan pada derajat tertentu memang sepantasnya. Sebut saja iman kepada Yang Maha Kuasa. Atau beragama.
Segala bentuk keyakinan yang mendalam, luar biasa, suprarasional, transendental, segalanya, yang menggeliat dan menyanggah jiwa kita, sebagai “sensasi hidup”, yang dibuahkan oleh “epos eksistensi” adalah keniscayaan. Victor E. Frankl sampai menyebutnya sebagai hal inhern yang seharusnya ada dan dirawat dalam jiwa manusia; jika tidak, maka akan mengangalah lubang di dalam jiwa, dan untuk kondisi tersebutlah banyak manusia modern membutuhkan logoterapi—terapi psikologis. “Sensasi-hidup” yang dibuahkan oleh “epos eksistensial” adalah bagian dari kebutuhan melesak dalam psikologi kita, jiwa kita. Tak terhindarkan. Pun tak perlu dibangkangi jika tak ingin didera badai kehampaan.
Sebab itu adalah “sebuah hakikat yang subtil dan menembus jiwa”—bukti betapa eksistensialnya ia untuk dirawat selalu. Tetapi, lanjut Conrad, ia “mustahil tersampaikan” dalam pengertian yang luas, majemuk, dan lebih-lebih seragam.
Tepat pada titik ini, mari mafhumi pula betapa segala apa yang kita sebut sebagai wujud eksistensial kita, narasi kita, sensasi-hidup yang dibuahkan oleh epos eksistensial kita, adalah khas kita, lingkaran kita, belum tentu orang lain, lingkaran orang lain, apalagi dunia. Bahkan boleh jadi terlihat berseberangan, head-to-head, vis-à-vis.
Ia “mustahil tersampaikan” dalam dua koridor faktual sekaligus:
Pertama, bagaimana—tutur Imam Ghazali—membuktikan secara saintifik-ilmiah bahwa satu perasaan “epos eksistensial” adalah benar sehingga yang selain-selainnya salah?
Akal tak pernah mampu memecahkannya. Capaian sains dan teknologi apa pun tak pernah berhasil memberikan jawaban meyakinkan tentang sia-sianya suatu ritual agama karena ia tak bisa dibuktikan secara empiris-rasional kebenaran dan faedahnya di hadapan pemungkiran kaum ateis, misal, pada narasi suprarasional-spiritual apa pun, yang juga sama-sama tak mampu menjabarkan secara meyakinkan hakikat kebenaran dan faedahnya.
Apa-apa yang pada mulanya dianggap terbenar dan terbaik oleh kelompok sahabat yang menunaikan shalat di tengah jalan di hadapan kelompok sahabat yang memilih mematuhi titah Nabi—begitupun sebaliknya—secara objektif rasional-empiris sama-sama tak bisa dibuktikan sama sekali. Ia adalah “epos eksistensial”, sebuah hakikat yang subtil dan menembus jiwa, yang melekat pada setiap orang dan kubu, yang semua kita hidup di dalamnya, tetapi tak semua kita mudah untuk meletakkan secara proporsional dan masuk akal “sebagaimana dalam mimpi—sendiri-sendiri…”. Di era Nabi, sebagaimana dialami para sahabat itu, ada jujukan finalnya untuk memutuskan. Tapi bagaimana dengan hari ini?
“Epos eksistensial’ itu adalah anugerah hidup yang menjadikan kita (seyogianya) meraup “Jiwa yang Tenang”—sebagaimana difatwakan Frankl di atas. Jiwa yang Tenang itu seyogianya adalah keniscayaan, wujudnya “sensasi-hidup”—perasaan yang membuatnya sungguh-sungguh ada, yang membuatnya bermakna—sebuah hakikat yang subtil dan menembus jiwa.
Sayangnya, sebagian kita kerap terjatuh pada penghancuran khittah Jiwa yang Tenang itu akibat hempasan ambisi Jiwa yang Benar. Walhasil, dalam pelbagai pola pemikiran, pemahaman, sekte, dan bahkan agamanya atau imannya, mereka sama jatuhnya ke jurang legam yang diprihatinkan oleh Frankl. Mereka, di dalam riung imannya malah, sangat membutuhkan logoterapi itu sendiri. Sama persis dengan mereka yang mengingkari keimanan.
Ini terjadi lantaran ambisi Benar dan Baik merunyak sedemikian gempalnya untuk dihantarkan  ke ruang lain, wilayah lain, yang di sana pun jelas bersemayam “epos eksistensial” yang lain, yang juga sama gempal dan berototnya. Ketika “sebuah perasaan yang membuatnya sungguh-sungguh ada, yang membuatnya bermakna”, yang ranahnya personal atau komunal-terbatas, dipaksakan untuk pula menembus ke rumah orang, majelis orang, jamaah orang, niscaya lahir benturan, kemudian seteru, permusuhan, dan bahkan kafir-mengkafirkan dan neraka-menerakakan. Tepat di titik inilah anomali spiritual-rohai itu menisbatkan kekacauan jiwa yang seharusnya tak logis menerkam.
Apa pun yang namanya konflik jelas bertabrakan dengan nurani untuk Tenang. Apa pun sebab dan motivasinya.
Untuk sebab tersebutlah, Jiwa yang Tenang itu mesti kita selubungkan selalu kepada Jiwa yang Benar. Membingkainya selalu.
Agar kita semua bisa duduk berdampingan….
Sidoarjo, 05 April 2018

No comments

Powered by Blogger.